10 Oktober 2008

Pelatihan Masak dengan Guru bertitel Ph.D


Ahad, 20 September 2008

Mahasiswa butuh nutrisi yang memadai untuk beraktivitas. Gizi yang seimbang serta sehat menurut kaidah kedokteran menjadi hal penting yang perlu dipertimbangkan. Dan satu lagi bagi anak kos, kecepatan dalam pembuatan menjadi faktor penting, karena karena ritme aktivitas yang padat butuh waktu yang cepat dalam membuat makanan tanpa melupakan asupan gizi.

Memasak bagi sebagian mahasiswa menjadi momok, ketika ditanya,” Bisa masak apa?” spontan menjawab, “Masak air, mie, nasi”. Kalau ditanya gimana dengan masak lauk? Ntar dulu itu urusan lain. Biasanya kalo masak lauk kata seorang teman sering keasinan, ada yang bilang kalo sering keasinan berarti tandanya dah pengen nikah, perlu diteliti…

Sudah 3 minggu kami berada di Swedia. Saat ramdhan adalah waktu-waktu sering berkumpul bersama teman-teman Indonesia. Seperti kebiasaan di Yogya, acara buka bareng gratisan adalah cara tersendiri mengurangi pengeluaran serta menambah gizi bagi anak kos. Jangan sampai mitos anak kos = generasi Indomie terjadi lagi disini, walau Indomie ada di Swedia dengan harga 4 Kr sekitar Rp. 6000, semoga Indomie bukan menjadi menu utama kami.

Solusi untuk mengatasi ketergantungan pada makanan cepat saji (termasuk Indomie) adalah masak sendiri. Masak bagi sebagian orang adalah ajang “trial and error” banyak “error”nya, kadang keasinan, kadang gosong, salah bumbu, mau buat nasi goreng jadinya nasi gosong, dll. Bahkan kami dapat cerita, sepasang dosen kami pernah ke Swedia dan masak sendiri.. Dengan prinsip neraca massa dan neraca energi makanan pun jadi, entah rasanya seperti apa yang penting bisa dimakan.

Nah, pengalaman belajar masak adalah pengalaman seru disaatku berada jauh dari Indonesia. Rindu masakan rumah bisa terobati dengan belajar masak dari sang ahli. Dengan titel Ph.D menjadi jaminan bahwa guru masak ini benar-benar pengalaman, pengalaman 5 tahun di Amerika kuliah sambil masak sendiri ditambah ada resep khusus dari eyang menjadi jaminan bagi kami ilmu yang ditransfer shahih dan punya keakuratan resep yang bagus. Diceritakan oleh beliau, dulu waktu di Amerika kalau ndak masak sendiri masih kurang sreg karena kehalalan belum terjamin, jadi solusinya adalah masak sendiri.

Hari itu, ada 4 orang mahasiswa belajar masak. Yang paling tua berinisial RBC dan SPW, dan 2 yang masih muda dan imut-imut berinisial AM dan yang paling imut berinisial H. 3 murid datang terlebih dahulu yaitu H, AM, dan SPW setelah bersusah payah menaiki tangga setinggi bukit dan salah turun bisa karena lupa pencet tombol berhenti. Tanpa membawa apapun kecuali niat yang tulus dan kesiapan menyantap makanan hasil pelatihan memberanikan diri datang karena sudah janji.

Sampai didepan apartemen guru masak, hal pertama dilakukan adalah menelepon untuk dibukakan pintu. Dengan senyuman khasnya, guru kami mempersilahkan 3 murid pelatihan masak untuk masuk, dengan busana daster membuat beda, seperti layaknya ibu-ibu, berbeda dengan penampilan yang biasa kami lihat.

Pelatihanpun dimulai, peserta dengan inisial RBC pun datang. “Maaf bu terlambat, karena ada main badminton”, “Wah cocok ni, biasanya setelah lelah olahraga makannya pasti banyak” guyonan guru masak kami membuat suasana mulai cair.

Pembagian tugas pun dilaksanakan, walau hanya 2 orang yang mempraktekkan, sisanya sebagai mandor dan komentator, pelatihanpun dilaksanakan. Padahal maunya 2 orang mandor dan komentator sekaligus destroyer ini yang perlu dilatih untuk masak.

Praktek pertama adalah bagaimana mengiris buah dan telur matang dengan baik dan benar untuk salad. Salad adalah makanan tradisional tempo dulu, dibuat dari campuran buah biasanya apel, pir, mangga, dll dicampur selai. Kali ini kami memakai 2 macam buah yaitu apel dan pir, buah ini dibeli di Kveberg, pasar tumpah akhir pekan tempatku mendapatkan jaket winter dengan harga murah dan pengalaman lucu, harganya cuma 10 Kr = Rp. 15.000.

Buahpun kuiris dengan hati senang, walau dalam hati sempat berfikir, kenapa ndak pake apel yang ada di tepi jalan ya atau di dalam gedung Student Union ya ? Tinggal pura-pura duduk, liat kanan kiri, kalau tidak ada orang tinggal ambil aja. Toh halal karena diluar pagar…

Mengiris salad kali ini kulakukan dengan tenaga maksimal dan semangat 45, sampai-sampai guru masakku kaget kok cepat banget. Kecepatan adalah fungsi niat dan energi, energi yang dipakai adalah energi kuli bukan koki. Setelah mengiris buah, disuruh lagi untuk mengiris terong untuk sambal, “Ndi, terongnya jangan terlalu tipis biar tidak rusak” nasehat yang cukup untuk mengetahui ukuran terong yang akan diiris. Sekejap terongpun selesai diiris, seperti kuli, langsung bertanya “Ada lagi yang bisa dibantu lagi Bu?”. kerja selanjutnya disuruh mengiris telur matang, sempat bingung telur matang untuk apa? Eh,ternyata telurnya dipakai campuran salad, putihnya diiris dan kuningnya dipake untuk selainya dengan campuran mentega.

Waktu berjalan dengan cepatnya, salad selesai, sambal terongpun baunya membuat semakin lapar. Celetukan keluar dari mulut guru masakku, “Wah cepat sekali ngirisnya,sepertinya pake tenaga kuli bukan tenaga koki” membuat spontan para murid pelatihan pada tertawa. Ditambah humor-humor segar dari keempat peserta pelatihan membuat suasana sore itu riang gembira, tak ada sekat antara guru dan murid.

Suasana santai penuh dengan humor jarang ditemui jika di Indonesia, sebab guru masak kami adalah dosen kami sendiri. Inisialnya W, dosen yang berkantor di lab.bahan makanan sekaligus menjadi penanggung jawab hubungan kerjasama di jurusan kami, sangat pas sebagai guru memasak yang mengajarkan bagaimana mengolah bahan makanan.

Sekat dosen dan murid tidak kami rasakan kali ini, sekat yang ditanah air kadang membuat pemisah hubungan antar manusia. Entah dengan alasan menaruh hormat atau kedudukan yang berbeda sering membuat hubungan hanya sebatas didalam kelas. Berada di negeri orang membuat kedekatan kami begitu nyata, saling membantu dan memberi masukan adalah hal biasa tanpa pamrih sedikitpun. Hingga ada yang curhat tentang jodohpun diladeni.

Akhirnya selesai juga 4 resep kami. Salad buah, nasi goreng, gorengan tuna, dan sambal terong pun selesai dengan cepatnya. 4 dari 5 resep yang dipersiapkan oleh guru masak kamipun selesai dalam waktu yang cepat. Waktu berbuka pun tiba, jam menunjukkan pukul 18.15, serentak kami membatalkan puasa dengan kurma dan jus buah yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Diskusi-diskusi ringan mewarnai santap berbuka kali ini, mulai dari masalah kampus, proyek, pengalaman hidup, hingga membahas perbaikan negara.

Berbuka dengan makanan ringan sudah kami lewatkan, menu berbuka yang ideal, ada buah, jus, kurma dan cemilan, menu elit untuk anak kos Indonesia. Setelah puas dengan makanan ringan, saatnya shalat dulu sebelum makanan besar kami santap. Shalat maghrib dan shalat sunnah ba’diyah telah selesai. Saatnya mencoba makanan hasil pelatihan kali ini.

Ternyata, makanan hasil pembelajaran kali ini tidak kalah dengan makanan rumah di Indonesia. Gorengan tuna habis, nasi gorengpun habis karena 2 orang destroyer dengan inisial AM dan RBC nambah 2 kali, sambal terong masih sisa dikit, dan salad masih sisa karena kekenyangan dan menjadi menu penutup, bukan ding, karena mengikuti sunnah Nabi berhenti makan sebelum kenyang.

Selesailah rangkaian acara pelatihan masak yang ditutup dengan makan makanan hasil pelatihan kali ini. Hati gembira, perut terisi, dan uang saku hemat, dasar mahasiswa!. Kami dilepas dengan senyuman oleh guru masak kami. Senyuman yang memberi kehangatan disaat suhu Gotheborg cuma 13 C.

Datang diundang, pulang diantar sampai didepan. Kalau ada sumur diladang boleh kita menumpang mandi, kalo ada umur yang panjang, kapan pelatihan masak lagi?

Tidak ada komentar: